Pernikahan Anak di Kalimantan Tengah
Saya Mau Jadi Ibu Rumah Tangga
Siang itu matahari bersinar dengan terik di Desa Bukit Harapan, Parenggean, namun tidak mencegah Ayu Febriana untuk melangkahkan kaki untuk mengunjungi warung kecil milik Ibu Nurhayati untuk membeli jajanan siang hari. “Aku mau minum susu coklat dingin,” celoteh Ayu riang.
Ayu sudah putus sekolah sejak kelas 6 SD karena ia memutuskan untuk menikah dengan pria berumur 17 tahun yang bekerja sebagai penambang di pertambangan emas milik rakyat di Desa Bukit Harapan, Parenggean. Ketika ditanya alasan pernikahannya, ayu berkata,”Kasihan mama diomongin orang terus menerus, jadi dari pada hamil terlebih dahulu, lebih baik saya menikah.”
Ayu lahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai penambang emas rakyat di Desa Bukit Harapan dan Ibunya membuka toko kecil. “Ketika masih kelas 4 SD, saya suka pergi ke tambang juga untuk membantu kakak mengayak. Biasanya saya mulai bekerja sejak jam 8 pagi dan berakhir jam 4 sore,” kenang Ayu. Namun, Ayu mengakui bahwa ia tidak menerima upah dari hasil pekerjaannya karena keseluruhan uangnya ia berikan kepada orang tuanya. “Kalau saya mau jajan baru saya minta,” jelas Ayu.
Hidup dan tumbuh di komunitas penambang emas skala rakyat di Bukit Harapan membuat Ayu menyadari bahwa pilihan dalam kehidupannya sangat terbatas. Keputusan untuk menikah dibuatnya karena merasa mantap dengan pria pilihannya walaupun usia perkenalan mereka hanya berumur 3 bulan. Ayu menyetujui ketika dilamar dan segera bersepakat untuk melangsungkan pernikahan secara agama. “Saya sudah menikah secara siri jadi sudah resmi menjadi suami dan istri secara agama. Tetapi memang belum punya buku nikah saja,” selorohnya sambil malu-malu. “Saya tidak menyesal meninggalkan bangku sekolah, karena keinginan saya sudah bulat untuk menikah,” kata Ayu mengakhiri ceritanya di siang itu.
Kini, kehamilan Ayu telah memasuki bulan ke-4. Walaupun postur Ayu kecil dan terlihat sangat muda, namun ia terlihat cukup tabah menjaga kandungannya. Ayu juga menyatakan bahwa kini ia merasa bahagia karena akhirnya bisa memiliki keluarga sendiri dan akan segera memiliki anak. “Punya keluarga itu enak karena ada yang mencari nafkah buat saya dan tidak harus ikut orang tua lagi,” tambah Ayu. Namun sampai saat ini, Ayu mengakui bahwa ia dan suami masih menumpang di rumah orang tua Ayu.
Delik Hukum Pernikahan Anak
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6% menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun, dan 23,9% menikah pada umur 15-19 tahun. Ini berarti sekitar 26% perempuan dibawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang dengan optimal.
Secara hukum perkawinan anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut memperbolehkan anak perempuan berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.” Sementara Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dinyatakan bahwa orang tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini. Namun pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa disertakan dengan adanya ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tidak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini. Hal ini memberikan celah bagi siapapun, termasuk orang tua, aparat pemerintah, kelompok dan komunitas tertentu untuk memalsukan dokumen kependudukan, khususnya menyangkut usia, agar pernikahan dapat dilangsungkan.
Yayasan Emas Artisanal Indonesia dan Program Pencegahan Pernikahan Anak Usia Dini
Angka perkawinan anak di Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja. Perkawinan anak ini harus mendapatkan perhatian khusus dan serius karena mengakibatkan hilangnya hak-hak anak perempuan seperti pendidikan, bermain, perlindungan, keamanan dan lainnya termasuk dampak atas kesehatan reproduksi dan kehamilan dengan resiko tinggi.
Dampak lain yang dirasakan oleh anak perempuan yang kawin di usia muda adalah adanya ancaman kesehatan mental. Anak perempuan seringkali mengalami stress ketika meninggalkan keluarganya dan bertanggung jawab atas keluarganya sendiri. Selain itu, perkawinan anak juga membawa dampak buruk bagi anak perempuan yang melakukan perkawinan anak, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kasus Pernikahan Anak Usia Dini masih marak terjadi di Indonesia. Kalimantan Tengah khususnya menempati urutan nomor dua prevalansi tertinggi pernikahan anak setelah Kalimantan Selatan, berdasarkan hasil survey sosial ekonomi tahun 2017.
Komunitas Penambang Emas Skala Kecil di Kalimantan Selatan, khususnya yang berada di Desa Bukit Harapan, Parenggean merupakan salah satu komunitas penambang binaan Yayasan Emas Artisanal Indonesia (YEAI); selain komunitas penambang yang berada di Tobongon dan Tatelu, Sulawesi Utara. Program-program terkait dengan penguatan jender dan kesehatan reproduksi acap kali menjadi isu yang gencar di sosialisasikan dalam pertemuan YEAI dengan komunitas ini.
Titik Hartini, Manager Pelatihan dan Pengembangan di Yayasan ini menyatakan bahwa pentingnya kesadaran dan peran orang tua dalam menentukan masa depan anak merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan program penguatan jender.
“Yayasan Emas Artisanal Indonesia tidak hanya membantu para penambang dalam menghentikan merkuri dalam pengolahan emas dan menggantikannya dengan proses pengolahan tanpa merkuri saja, tetapi faktor-faktor yang pendukung sekitar pertambangan pun kami upayakan untuk berubah menjadi lebih baik,” kata Titik.
Walaupun Program Emas Rakyat Sejahtera yang didanai oleh Global Affairs Canada ini telah berjalan selama hampir lima tahun, namun pernikahan anak memang tetap terjadi dalam komunitas penambang di daerah Parenggean ini, namun Titik menegaskan bahwa sebuah perubahan paradigma dalam sebuah tatanan masyarakat akan memakan waktu karena pengetahuan terhadap pernikahan dini memerlukan upaya sosialisasi yang terus menerus dan berkelanjutan sebelum perubahan sikap dan perilaku terjadi. Walaupun budaya memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat tetapi pengetahuan akan dampak pernikahan usia dini dan kesehatan reproduksi akan memberikan solusi bagi kelangsungan kehidupan generasi penerus Indonesia.